SIJUNJUNG (RADARNEWS.ID)-Selanjutnya, siapa yang tahu? dibalik dinding rumah keluarga pasien Covid-19 yang dikarantina, isak tangis tersedu saling bersahutan. Ada anak yang merindukan hangatnya pelukan orang tua yang sedang dikarantina. Ada istri yang merintih sambil berdoa agar suami lekas sembuh dan bisa berkumpul bersama, dan ada ibu yang memohon kepada Yang Kuasa demi keselamatan anaknya dari wabah corona, begitu pun sebaliknya. Jika sembuh mereka bisa kembali berkumpul bersama. Namun, jika Tuhan berkata lain. Itulah terakhir kalinya mereka melihat orang yang dicintainya.
Setelah hasil tes swab keluar, seluruh orang yang dinyatakan positif langsung ditangani tim medis dan gugus tugas untuk dilakukan karantina dan perawatan khusus. Proses tracking pun dilakukan, mencari tahu siapa saja yang mungkin terpapar. Tak ada orang yang siap untuk dinyatakan sebagai pasien positif Covid-19, karena memang tak ada pula yang menginginkannya.
Masyarakat tercengang usai mendengar kabar tersebut, rasa cemas pun berhampiran, karena takut terkena wabah pandemi itu. Wajar memang. Karena Sijunjung sebagai daerah terakhir yang menyandang zona hijau diujung masa PSBB II, Sumbar akan berakhir. Apalagi secara psikologis dan secara sosial masyarakat belum bisa menerima keberadaan virus corona, karena merupakan wabah baru dan penularannya yang sangat masif.
Hari itu menjadi hari yang mengejutkan. Delapan orang petugas Lapas Kelas II B Muaro Sijunjung positif Covid-19. Tak ada yang menduga kasus pertama langsung berjumlah delapan orang dan membentuk cluster, sekaligus menghapus status zona hijau menjadi merah.
Informasi begitu cepat tersebar, santer ditengah masyarakat. Hingga nama dan identitas seluruh orang yang dinyatakan positif beredar luas ditengah masyarakat dan menjadi konsumsi publik secara telanjang di media sosial. Tidak tahu darimana asalnya hingga beredar begitu saja tanpa pemahaman yang jelas.
Berbagai opini dan pernyataan secara liar muncul silih berganti, seolah menyesali apa yang terjadi. Tak sedikit yang menyalahkan dan menyesali, namun ada juga yang bijak menyikapi, karena ini adalah pandemi yang tidak diingini.
Ironis memang. Seakan orang yang terkena Covid-19 adalah sebuah aib sehingga harus dijauhi dan disesali. Ada pula yang berdalih agar nama-nama itu disebar untuk memberi tahu masyarakat lainnya untuk lebih waspada, dan memudahkan petugas dalam proses tracking. Jika ingin waspada cukup terapkan imbauan pemerintah, dan biarkan petugas yang sudah diberi kewenangan untuk bekerja.
Hari itu juga delapan orang yang positif dijemput dengan ambulan khusus, serta tim medis menggunakan alat pelindung diri (APD) lengkap. Mereka harus dibawa untuk segera menjalani perawatan khusus hingga dinyatakan sembuh dan baru bisa kembali berkumpul dengan keluarga. Namun, jika Tuhan berkata lain. Itulah terakhir kalinya mereka melihat orang yang dicintainya, karena pasien Covid-19 tidak bisa dijenguk pihak keluarga.
Tak terbayang bagaimana mereka pamit dengan keluarganya hari itu, dengan anak, istri, suami, ibu, ayah dan orang yang mereka cintai. Jangankan untuk memeluk dan mencium, sekedar berjabat tangan saja tidak bisa. Karena protokol penanganan Covid-19 cukup ketat. Mereka hanya bisa menyaksikan dari jauh sembari kesedihan dan tangis yang pecah dari keluarga untuk melepas kepergian dibalik kaca mobil ambulan.
Salah seorang keluarga pasien yang dinyatakan positif menceritakan bahwa, dirinya merasa sedih lantaran beredarnya nama dan identitas tersebut di media sosial. Bahkan sampai ada sikap yang kurang bagus dari sejumlah orang. “Semenjak datanya tersebar kami dari anggota keluarga Lapas sedih. Sampai ada beberapa sikap masyarakat yang tidak terkena menyikapi kami dengan cara pandang yang buruk. Saya harap masyarakat bisa menyikapi dengan baik. Saling support dan mendoakan,” ungkap RZ salah seorang keluarga pasien.
Tidak ada orang yang siap untuk dinyatakan positif corona, dan tak ada pula yang menginginkannya. Karena mereka adalah korban yang juga tertular tanpa mereka kehendaki. Lalu, apa alasan untuk menyesali dan menyalahkan mereka? Apalagi dengan menyebarluaskan identitas mereka. Tak terbayang bagaimana perasaan pihak keluarga yang melihatnya? Lantaran harus berpisah dan menjalani perawatan dan karantina sampai waktu yang tidak ditentukan.
Sama halnya yang diungkapkan RB yang juga salah seorang pihak keluarga pasien. “Cukup hal ini terjadi kepada kami, imbasnya sekarang stigma masyarakat terhadap pegawai Lapas sangat tidak baik. Entah ini karena kasus perdana di Sijunjung atau kurangnya sosialisasi terhadap masyarakat dengan virus ini. Harusnya data ini tidak tersebar,” terangnya. (the).