Muara Teweh -(radarnews.id)-13/12/2020. Sebelum masuknya Perusahaan sawit PT. Antang Ganda Utama (AGU), Masyarakat Desa Rubei hidup damai dengan mengandalkan hutan belukar sekitar Desa, hutan tersebut dimamfaatkan sebagai tempat berladang dan berburu oleh masyarakat Adat Desa Rubei.
Pada Tahun 1997, Masuk Program Transmigrasi, sebagian masyarakat Desa Rubei yang sebelumnya tinggal berburu atau berladang di wilayah yang dijadikan Transmigrasi tersebut, ikut program dan bermukim secara menetap di SP (Seputar Pemukiman) Tarnsmigrasi 4, yang sekarang menjadi Desa Pandran Raya.
PT. AGU yang telah beroperasional sejak 1991 di wilayah 5 Desa, mengundang masyarakat Desa Rubei untuk bekerjasama atas hutan dan tanah belukar Desa Rubei, pertemuan waktu itu di Aula Sp. 4 tahun 2003, Lewat Manager PT. AGU Bapak Siswono, menyampaikan kepada masyarakat Desa Rubei tujuannya untuk membuka lahan perkebunan kelapa sawit di hutan yang di klaim masyarakat sebagai Hutan milik Desa Rubei.
Dan pada saat itu ada persetujuan dan perjanjian antara PT. AGU dan masyarakat Desa Rubei, Apabila masyarakat setuju membuka hutan dan lahan tersebut maka akan mendapatkan tali asih sebesar Rp. 450. 000 per ha dan dijanjikan mendapatkan lahan kelapa sawit dengan bentuk kemitraan, yang terletak di wilayah PT. AGU 2 Ufdeling Pandran yang sebelah baratnya masih dikelilingi kebun karet dan belukar milik masyarakat Desa Pandran Raya. Namun sayangnya perjanjian tersebut tidak di tanda tangani bersama dalam sebuah bentuk perjanjian tertulis. Apakah ada unsur kesengajaan dari Pihak Perusahaan melalaikan Birokrasi secara tertulis ini?
Salah seorang warga Pandran Raya yang enggan disebutkan namanya, setelah menceritakan kronologis konflik berkepanjangan selama 17 tahun antara PT. Agu dan Masyarakat Sabtu (12/12/2020) mengatakan, “setelah kejadian penangkapan 11 orang warga kami yang masih ditahan sampai sekarang, kami ingin publik tau, kami tidak mencuri ditanah kami sendiri, masyarakat kami memanen karena dasar history kepemilikan dan perjanjian yang hanya disaksikan oleh Tuhan tanpa perjanjian tertulis, kami meminta kebijaksanaan Para pemegang kewenangan agar menelaah permasalahan kami ini dengan hati nurani”. Paparnya dengan penuh pengharapan.
(Hertosi)